MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ
DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Oleh: Sonin
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ
الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى
الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ َصَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه الزَّمَانِ، أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ
وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin Jum’at rahimakumulllah,
Tanpa terasa, saat ini
kita telah masuk dipenghujung bulan Rajab, yang mana di dalam bulan Rajab terdapat
sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni
peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Isra’ Mi’raj
merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai
luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang zaman.
Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut senantiasa diperingati oleh sebagian
besar umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk
mengaktualisasikan kembali nilai-nilai penting di dalamnya. Terlebih pada masa sekarang, di
mana bangsa dan masyarakat kita terus menerus digoncang oleh berbagai kasus
kejahatan, penyimpangan, dan sederet praktik-praktek
yang tidak terpuji lainnya, Misalnya tidak sedikit kita temukan anak remaja
melakukan hubungan bebas, mengkonsumsi minuman keras, melawan dan menganiaya
guru dan orang tuanya sendiri, pembegalan, mafia hukum dan peradilan, korupsi, konflik antar elite politik dan lembaga negara, dan lain sebagainya. Karena itu mari kita mengambil
pelajaran dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi kita Muhammad Saw, yang kita
Rasul Sebagai Suritaulan kita.
Jama’ah Jum’at ...
Dari Peristiwa Isra’
dan Mi’raj ini paling tidak, sedikitnya ada 4 (empat) nilai
mendasar yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa tersebut:
Pertama, peristiwa Isra’, yang
berarti perjalanan Nabi Muhammad Saw. di malam hari dari Masjidil Haram menuju
Masjidil Aqsha. Peristiwa itu memberikan isyarat
kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa
Isra’, perjalanan Nabi SAW bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi
lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat
Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial
atau kemasyarakatan secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi
sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya.
Dengan kata lain, selain berkualitas secara Vertikel (hubluminAllah) hendaknya juga
hubungan secara horizontal yakni habluminannas juga baik. Baik ketika
berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui
jalinan silaturahmi, intraksi dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah
yang disebut dengan “kesalehan sosial”.
Sebab, tidak jarang
sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu
keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya,
di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan
prilaku-prilaku yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah
dilakukannya, seperti melakukan korupsi, kecurangan, penipuan, membicarakan aib
dan kejelekan orang lain, menebarkan fitnah, hingga memelihara perpecahan dan
konflik berkepanjangan. Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Sebab salah satu wujud keberagamaan yang hakiki,
ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin hubungan dengan cara yang baik,
bermanfaat bagi banyak orang bukan membawa mudhorat yang bisa mengantarkan
seseorang kepada Murka Allah Swt.
Di samping itu,
perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat
bahwa, mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau
kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan
keagamaan kepada masyarakat secara luas. Jangan sampai, masjid justeru hanya dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektoral secara eksklusif dan sempit, yang justru
merusak jalinan ukhuwwah antar umat Islam, sehingga
ummat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak sehingga mudah dimanfaatkan oleh
Aktor-aktor lain untuk diadu domba.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Kedua, peristiwa Mi’raj, di
mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratil Muntaha, berjumpa
dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bagi
kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”,
yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga terhindar dari
jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa
diri, hingga berani melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atau pun
pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.
Sebagai makhluk berketuhanan, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-Nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Akhlakul Karimah harus terus ditegakkan, untuk melawan
segala bentuk Akhlakul Majmumah. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih jika masyarakat kita, keluarga dan anak-anak kita
jauh dari nilai-nilai agama. Karena itu mulailah dari diri kita masing-masing untuk
membiasakan diri berprilaku yang baik sehingga menjadi tauladan bagi lingkungan
dan generasi kita.
Kemudian yang Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat apapun. Namun, di sinilah
nampak sifat keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah
bertemu dengan Allah Swt, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk
menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat penting, bahwa kita tidak boleh
terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun
relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun
min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas);
maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a
al-bi’ah). Ini mengandung makna bahwa dengan adanya ilmu dalam diri kita
hendaknya bermanfaat juga bagi orang lain, memberi cahaya dan penerangan kepada
orang lain, bukan membawa kegelapan dan kemudhoratan kepada orang dan makhluk
lain.
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang
sangat penting, berupa perintah shalat.
Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi
tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Rasulullah
Saw bersabda:
الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ ، مَنْ أقَامَها فَقدْ أقَامَ الدِّينَ ،
وَمنْ هَدمَها فَقَد هَدَمَ الدِّينَ
“Shalat adalah tiang
agama, barang siapa yang menegakkan
shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama.”
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim dan At Tirmidzi)
Demikian sabda Nabi.
Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita
menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat
tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik
orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap
celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral
yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya, sebagaimana Allah Swt
Berfirman:
“
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya” (QS. al-Ma’un: 4-5.)
Dalam Suroh
yang lain Allah Swt Berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al-Ankabut: 45) :
Ayat di atas
menurut Abul Aliyah yang mengutip Tafsir Ibnu Katsir, bahwa: Ada 3
karakteristik dalam shalat, setiap shalat yang tidak terdapat salah satu dari
ketiganya bukanlah shalat, yakni: Ikhlas, takut pada Allah, dan berzikir
mengingat Allah (mengingat perintah dan larangan-Nya dalam al-Qur’an, saat
membacanya).
Maksudnya
adalah:
1. Dengan “Ikhlas”
akan memerintahkan pelaku shalat untuk melakukan hal yang baik.
2. Dengan “Takut
pada Allah” akan mencegah pelaku shalat dari melakukan kemungkaran.
3. Dengan “Berzikir
mengingat Allah” (dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an saat shalat) akan
memerintahkannya berbuat kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran.
Jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka, salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang
adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian
diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung
pesan ke-tawadlu’, sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan
kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia,
merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita dan kaki saudara-saudara
kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik
shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah
setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum
warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka indikator lain
dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian,
persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga kita semua dapat
mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj
serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ
الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ
هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar