ASSALAMU'ALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKAATUH ...

Daftar Isi My Blog

21.4.17

MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KEHIDUPAN SOSIAL



MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Oleh: Sonin

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ َصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه الزَّمَانِ، أَمَّا بَعْدُ؛
 فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin Jum’at rahimakumulllah,
Tanpa terasa, saat ini kita telah masuk dipenghujung bulan Rajab, yang mana di dalam bulan Rajab terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang zaman. Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut senantiasa diperingati oleh sebagian besar umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai penting di dalamnya. Terlebih pada masa sekarang, di mana bangsa dan masyarakat kita terus menerus digoncang oleh berbagai kasus kejahatan, penyimpangan, dan sederet praktik-praktek yang tidak terpuji lainnya, Misalnya tidak sedikit kita temukan anak remaja melakukan hubungan bebas, mengkonsumsi minuman keras, melawan dan menganiaya guru dan orang tuanya sendiri, pembegalan, mafia hukum dan peradilan, korupsi, konflik antar elite politik dan lembaga negara, dan lain sebagainya. Karena itu mari kita mengambil pelajaran dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi kita Muhammad Saw, yang kita Rasul Sebagai Suritaulan kita.

Jama’ah Jum’at ...

Dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini paling tidak, sedikitnya ada 4 (empat) nilai mendasar yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa tersebut:

Pertama, peristiwa Isra’, yang berarti perjalanan Nabi Muhammad Saw. di malam hari dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha. Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi SAW bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya.
Dengan kata lain, selain berkualitas secara Vertikel (hubluminAllah) hendaknya juga hubungan secara horizontal yakni habluminannas juga baik. Baik ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan silaturahmi, intraksi dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”.
Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya, seperti melakukan korupsi, kecurangan, penipuan, membicarakan aib dan kejelekan orang lain, menebarkan fitnah, hingga memelihara perpecahan dan konflik berkepanjangan. Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Sebab salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin hubungan dengan cara yang baik, bermanfaat bagi banyak orang bukan membawa mudhorat yang bisa mengantarkan seseorang kepada Murka Allah Swt.
Di samping itu, perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat bahwa, mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat secara luas. Jangan sampai, masjid justeru hanya dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektoral secara eksklusif dan sempit, yang justru merusak jalinan ukhuwwah antar umat Islam, sehingga ummat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak sehingga mudah dimanfaatkan oleh Aktor-aktor lain untuk diadu domba.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, hingga berani melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atau pun pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.
Sebagai makhluk berketuhanan, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-Nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Akhlakul Karimah harus terus ditegakkan, untuk melawan segala bentuk Akhlakul Majmumah. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih jika masyarakat kita, keluarga dan anak-anak kita jauh dari nilai-nilai agama. Karena itu mulailah dari diri kita masing-masing untuk membiasakan diri berprilaku yang baik sehingga menjadi tauladan bagi lingkungan dan generasi kita.

Kemudian yang Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat apapun. Namun, di sinilah nampak sifat keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Allah Swt, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat penting, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah). Ini mengandung makna bahwa dengan adanya ilmu dalam diri kita hendaknya bermanfaat juga bagi orang lain, memberi cahaya dan penerangan kepada orang lain, bukan membawa kegelapan dan kemudhoratan kepada orang dan makhluk lain.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Rasulullah Saw bersabda:
الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ ، مَنْ أقَامَها فَقدْ أقَامَ الدِّينَ ، وَمنْ هَدمَها فَقَد هَدَمَ الدِّينَ
Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama.



Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dan At Tirmidzi)
Demikian sabda Nabi. Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya, sebagaimana Allah Swt Berfirman:
“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. al-Ma’un: 4-5.)

Dalam Suroh yang lain Allah Swt Berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al-Ankabut: 45) : 

Ayat di atas menurut Abul Aliyah yang mengutip Tafsir Ibnu Katsir, bahwa: Ada 3 karakteristik dalam shalat, setiap shalat yang tidak terdapat salah satu dari ketiganya bukanlah shalat, yakni: Ikhlas, takut pada Allah, dan berzikir mengingat Allah (mengingat perintah dan larangan-Nya dalam al-Qur’an, saat membacanya).

Maksudnya adalah:
1.      Dengan “Ikhlas” akan memerintahkan pelaku shalat untuk melakukan hal yang baik.
2.      Dengan “Takut pada Allah” akan mencegah pelaku shalat dari melakukan kemungkaran.
3.      Dengan “Berzikir mengingat Allah” (dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an saat shalat) akan memerintahkannya berbuat kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran.

Jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka, salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’, sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita dan kaki saudara-saudara kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net